Pelantikan Pengurus P3HPI periode 2025 SD 2030








Penulis: Wirawan B Ilyas & Richard B

Memahami persoalan pajak menjadi kebutuhan setiap orang yang tidak bisa dihindari, seperti diungkapkan Benjamin Franklin di tahun 1789, in this world nothing can be said to be certain, except death and taxes (di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak). Konsep ini hendak menegaskan tidak ada seorangpun dalam hidupnya tidak bersentuhan dengan pajak. Kalau begitu, pajak sudah menjadi bagian hidup yang mesti disikapi dengan bijak. Sejarah panjang pun mengajarkan pemikiran makna pentingnya pajak dalam hidup bernegara.
Teori paling mudah memahami pajak ketika diakui bahwa tidak ada seorangpun dapat hidup seorang diri. Kebutuhan memberi kebaikan hidup bagi seseorang pastinya memerlukan bantuan orang lain. Dititik itulah pajak mesti dipahami dengan benar supaya pajak yang dibayarkan sesungguhnya ditujukan untuk kepentingan si pembayar pajak itu sendiri.
Boleh jadi, pajak kerap tidak disukai karena sifatnya memaksa. Tetapi itu tetap dibutuhkan sepanjang pungutan yang telah disepakati tidak dilakukan dengan benar. Hukum (baca: Hukum Pajak) tetap menilai satu persoalan sifat memaksa pada sisi keadilan pajak itu sendiri. Sifat memaksa mestinya dimaknai pada makna positif, namun jika sebaliknya yang terjadi, hukum akan menilai persoalan keadilan dalam penerapannya melalui mekanisme hukum yang telah disepakati bersama dalam undang-undang.
Itu sebabnya, hukum pajak patut dipahami semua pihak (pembayar maupun pemungut pajak). Karena negara kesejahteraan yang menjadi tuntutan dan mimpi para pendiri bangsa (founding father) hanya akan terwujud melalui pajak yang dibayar serta dikelola dengan cara yang benar.
Niccolò Machiavelli dalam buku The Prince (Sang Penguasa) mempersoalkan dua hal tentang pajak berkaitan dengan kekuasaan yang hendak diperoleh. Pertama, bila ingin mempertahankan kekuasaan, jangan membuat perubahan dalam hukum maupun sistem perpajakan. Kedua, menarik pajak yang berat dan melakukan segala cara supaya memperoleh uang merupakan permulaan rakyat membencinya.
Machiavelli yang lahir pada 1469 di Florence, Italia, seakan memahami betul persoalan pajak, karena mungkin dipengaruhi latar belakang ayahnya sebagai ahli hukum yang bekerja sebagai pegawai pemerintah di kantor pajak di kotanya.
Lepas dari persoalan nama Machiavelli yang dikenal dalam ilmu politik dan sering dihubungkan dengan praktik kekuasaan yang tidak baik, dua hal amat menarik untuk diulas dalam mempersoalkan pajak dalam kacamata akal sehat bayar pajak.
Pertama, bagaimana memahami akal sehat dalam konteks bayar pajak saat ini? Kedua, bagaimana menyikapi kesadaran pajak yang terus menjadi persoalan untuk bayar pajak?
Ketika pajak dipahami sebagai kontribusi proporsional yang dilakukan rakyat dari harta yang dimiliki atas dasar undang-undang untuk kebutuhan masyarakat (De Leon, 1977), pajak dipastikan menjadi kekuatan (sinews) negara dan cara terbaik mengalokasikan beban pemerintah untuk kebutuhan itu.
Makna tersebut merupakan esensi dari akal sehat yang mestinya sudah dapat dipahami oleh semua wajib pajak (WP). Kalau begitu, pertanyaannya apa hubungan akal sehat bayar pajak dengan pernyataan Machiavelli tersebut di atas?
Tulisan Machiavelli sesungguhnya lebih ditujukan pada nuansa kepentingan dan kekuasaan dari sisi politik. Kecenderungan berpikir Machiavelli lebih dilandasi kepentingan politik semata dalam konteks mempertahankan kekuasaan yang hendak diraih seseorang.
Padahal, bicara akal sehat mesti dianalisis pada logika hukum. Kepentingan hukum cenderung lebih abadi ketimbang kepentingan politik yang berjangka waktu pendek. Akal sehat bayar pajak sejatinya tertuju pada kepentingan umum seperti digagas Pound (1870–1964) sebagai keseimbangan kepentingan.
Dua hal dari makna kepentingan umum itu, yaitu pertama, kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakekatnya. Kedua, kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial. Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional.
Akal sehat bayar pajak dalam hukum juga mengartikan bahwa setiap orang sudah memiliki kesadaran hukum (legal consciousness) atas keberadaannya di masyarakat. Seperti dinyatakan Soerjono (1987), kesadaran tersebut menyangkut empat faktor bahwa hukum telah diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati.
Kacamata akal sehat dari dua ahli di atas hendak menyimpulkan jika pendekatan hukum yang digunakan menginginkan perubahan masyarakat yang terencana untuk lebih maju (law as tool of social engineering). Sebaliknya, pendekatan Machiavelli dapat meruntuhkan tertib hukum di masyarakat.
Begitupun dalam persoalan bayar pajak yang sejak 1983 sudah menyepakati keberlakuan sistem self-assessment dalam UU. Artinya, sejauh ini usia akal sehat bayar pajak sudah cukup dewasa. Karenanya, tidak dapat dimaklumi pendapat yang menyatakan tidak tahu aturan pajak. Karenanya, makna ignorantia legis excusat neminem (tiada maaf, bagi yang tidak tahu UU), mesti ditegakkan.
Bahkan, ketika menelusuri persoalan akal sehat bayar pajak dalam konteks filosofis, keberadaan seseorang dalam masyarakat hakikinya tidak berintikan individualisme, melainkan kebersamaan. Bukan man are created free and equal, tetapi man are created in togetherness which each others, begitu disebutkan Sidharta (2012–6).
Makna itu juga dapat dibaca ketika Presiden Jokowi menerbitkan PP 45/2019 yang mengubah PP 94/2010 soal penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan tahun berjalan. Pemberian fasilitas pajak dalam program link and match antara kebutuhan dunia usaha dan kemampuan SDM, menjadi inti PP tersebut.
Artinya, akal sehat juga dimaknai sebagai cara pemerintah terus melakukan berbagai kebijakan pajak membantu dunia usaha dan industri menumbuhkan kemampuan inovasi. Termasuk peningkatan daya guna ilmu pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan.
Memberi makna akal sehat pada ‘togetherness which each others’ pun terlihat nyata keberhasilannya ketika pada 2016 diterbitkan UU Pengampunan Pajak (tax amnesty), serta pada 2017 dengan UU Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Tuntutan akal sehat bayar pajak adalah tuntutan semua pihak menciptakan kepentingan bersama. Norma yang disusun melalui UU, PP serta aturan lain menjadi patokan dan pegangan atas perbuatan hukum pajak untuk tujuan kebersamaan (togetherness). Itulah akal sehat pajak yang patut disadari.
Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia berkembang karena ditopang pajak. Akal sehat bayar pajak memastikan jaminan keberlangsungan dan kemajuan peradaban manusia. Maka, menjadi tidak bijak jika ungkapan ‘pajak selalu memberatkan’ atau ‘tidak usah bayar pajak’, masih terdengar mengalir.
Ungkapan tersebut tentu kurang bijak dan serasa merendahkan nilai pribadi yang mengungkapkannya. Kita semua paham seluruh negara berpacu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Namun, pada saat bersamaan acap kali terjadi pemikiran terbalik dan seakan ‘melawan’ akal sehat bayar pajak.
Lembaga pajak sudah menjadi kekuatan negara dan otomatis sudah menjadi alat penopang kepentingan bersama yang jauh berbeda pada makna yang dikemukakan Machiavelli. Karenanya, publik mesti menyadari sistem pajak yang tepat, termasuk jika terjadi sengketa dalam sistem dimaksud.
Itu sebabnya Cicero menyatakan ‘ubi societas ibi ius’ (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum). Logika akal sehat hendak menegaskan keberlangsungan hidup serta jalan keluar dari sengketa/masalah (termasuk pajak) dilakukan dalam hukum (hukum pajak). Begitulah sikap bijaksananya.
Misalnya, ketika persinggungan pajak mengena pada pengusaha bernama Itje maupun Clara, logika akal sehat pajak mesti dituntaskan pada jalur hukum. Kepentingan demikian sejalan dengan maksud dan tujuan dari Pound untuk kepentingan sosial/umum, bukan kepentingan penguasa.
Gagasan hukum supaya menjadi panglima mesti dipraktekkan dalam konteks segala urusan pajak. Bahkan, persoalan seperti itu sudah dipikirkan sejak dulu termasuk sejak ide kontrak sosial (social contract) digagas John Locke pada 1700-an. Tertibnya tatanan hidup masyarakat tidak lain dikarenakan adanya pemikiran hukum termasuk hukum pajak, bukan gagasan politik seperti digagas Machiavelli.
Mestinya kita dapat menghindarkan segala persoalan pajak dalam tataran politik semata seperti digagas Machiavelli. Namun tidak berarti politik tidak penting, karena hukum (UU) pajak pun terbentuk karena politik hukum penyusunan yang sudah terencana.
Dengan memahami pemikiran Machiavelli yang kurang tepat, patutlah kita merenungkan ulang. Dengan cara itu, kita berharap ruang potensi keberhasilan pajak di akhir 2019 serta dengan dukungan akal sehat bayar pajak, bisa menjadi dua faktor tak terpisahkan dan menjadi kekuatan hadirnya kesejahteraan (kebahagiaan) yang dinantikan.
Penulis : Bapak Richard Burton
Tentu, berikut adalah transkrip lengkap dari teks yang ada di screenshot tersebut, sesuai dengan kata per katanya:
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyurati DPR RI untuk membahas kebutuhan tax amnesty (pengampunan pajak) jilid II melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ragam pendapat pun muncul dalam dua sisi, setuju dan tidak setuju.
Kebutuhan tax amnesty sudah diterapkan lima tahun lalu melalui UU No 11 Tahun 2016 yang berlaku sejak 1 Juli 2016. Keberlakuannya dijalankan dalam tiga jenis tarif:
Pertama, tarif 2% untuk periode Juli-September 2016. Kedua, tarif 3% untuk periode Oktober-Desember 2016. Ketiga, tarif 5% untuk periode Januari-Maret 2017. Keberlakuan tax amnesty dinilai sebagian pihak kurang optimal karena sedikit wajib pajak (WP) memanfaatkannya dan hanya dicapai penerimaan negera sebesar Rp 135 triliun.
Ketika negara terus menerus membutuhkan dana untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan, tax amnesty jilid kedua menjadi tema menarik untuk didiskusikan. Sedikitnya dua pertanyaan dapat dikemukakan:
Pertama, apakah tax amnesty cukup diberlakukan sekali saja? Kedua, apakah tax amnesty jilid kedua memberi keadilan dalam pungutan pajak?
Kebutuhan tax amnesty jilid kedua kerap dinilai kurang tepat dengan argumentasi efek psikologi dan ketidakbaikan bagi sistem perpajakan. Termasuk alasan ketidakpatuhan serta menghindari moral hazard dalam pemenuhan kewajiban pajak.
Alasan seperti itu sangat wajar jika amnesty dimaknai memberi ampunan semata. Namun, dalam konteks hukum, tidak demikian. Hukum (hukum pajak) sebagai bagian dari tatanan hidup bersama terus mencari solusi bagi kepentingan bersama yang diterapkan secara adil. Hukum dibentuk mesti memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Pada titik ini, penulis setuju dengan teori Von Jhering (1818-1892) yang berbasis ide manfaat yang diusahakan lewat hokum (baca Undang-undang). Karena hukum merupakan penyatuan ragam kepentingan untuk tujuan yang sama, yakni kemanfaatan (utilitarianisme) yang berkeadilan. Kalau begitu, usainya keberlakuan tax amnesty dalam Undang-Undang 11/2016 tidak bisa dimaknai tidak diperlukan lagi tax amnesty jilid kedua, jilid ketiga, dan seterusnya.
Bahkan ukuran moral hazard yang ‘dicurigai’ akan dimanfaatkan sebagian pihak, belum bisa dibenarkan sepanjang tidak ada fakta hokum yang menjadi parameternya, dan di sisi lain kehidupan dunia usaha sebagai motor pembangunan ekonomi nasional harus dijamin keberlanjutannya (going concern).
Analisis tidak perlunya tax amnesty jilid kedua dari sisi hukum seakan ‘menutup’ ruang pemahaman hukum sehingga berlawanan dengan konsep yang dikatakan Ehrlich bahwa hukum itu hidup, selalu mengikuti perkembangan masyarakat (living law).
Itu sebabnya, keberlakuan amnesty jilid kedua menjadi alasan kuat kenyataan sosial yang secara ekonomis manusia sadar akan kebutuhannya (opinion necessitates), terlebih lagi selama masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini yang tidak dapat dipastikan kapan akan berakhirnya.
Tentu, berikut adalah transkrip lengkap dari teks yang ada di screenshot ketujuh, sesuai dengan kata per katanya:
Lalu, apakah persoalan kepatuhan dan moral hazard semata ditentukan oleh ada tidaknya tax amnesty? Sangat tidak tepat untuk dijawab ‘Ya’. Apakah juga bisa dinilai jika Wajib Pajak ikut tax amnesty menjadi ukuran patuh atau tidak?
Tidak sesederhana itu untuk dijawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Politik hukum memilih nilai-nilai norma dalam rumusan tax amnesty yang merupakan suatu kebutuhan sesuai dengan nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Jika dikatakan tax amnesty hanya berlaku sekali seumur hidup atau berlaku kurun waktu 20-30 tahun, juga tidak tepat.
Jika ukuran itu yang dinilai, secara filosofis, argumentasi hukumnya sangat lemah. Ukuran menilai hukum (amnesti pajak) tidak bisa dalam ukuran lamanya tahun yang sangat relatif. Hukum pajak yang beresinggungan dengan ragam aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, budaya, dll) mesti dilihat secara global, tidak hanya ukuran waktu.
Bicara pajak juga bicara keadilan sosial, yang menurut Suseno, keadilan sosial merupakan keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur ekonomi, politik dan sosial, budaya dalam masyarakat (Magnis-Suseno, 2018). Kondisi itu hanya bisa dilakukan Negara melalui kebijakan berkeadilan yang punya dampak besar.
Menurut penulis, keberlakuan tax amnesty jilid kedua, sepanjang norma maupun sasarannya dirumuskan dengan baik, akan mewujud pada keadilan sosial untuk kepentingan bersama. Hal itu pernah dilakukan melalui rumusan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan No 9/2017. Pilihan nilai-nilai hukum merupakan keniscayaan yang tidak boleh disikapi secara kaku.
Pilihan nilai serta penerapan nilai dalam rumusan norma tax amnesty adalah juga bagian dari cara berpikir melakukan penegakan hukum. Makna ‘penegakan hukum’ tidak melulu berarti penghukuman. Proses melakukan perbaikan sesuai norma hukum, pun bermakna penegakan hukum. Bahkan upaya pencegahan (preventive) pun merupakan bagian dari makna penegakan hukum.
Contoh, bagaimana suatu perusahaan melakukan penyempurnaan sistem pengendalian internalnya menjadi lebih efektif lagi agar dapat mengeleminasi risiko fraud dalam perusahaan, termasuk memperkuat struktur komisaris independen yang kompeten yang dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham.
Daya pengancam sebagai dasar pemerintah menegakkan hukum, sangat tidak tepat. Karena kita akan kembali pada cara berpikir Hobbes yang menggambarkan Negara sebagai leviathan (raksasa) yang ditakuti rakyatnya.
Penegakan hukum bagi wajib pajak yang tidak ikut tax amnesty tidak boleh menggambarkan Negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata karena kemampuannya untuk mengancam. Tesis itu menjadi pemikiran ulang menilai makna penegakan dalam hukum pajak. Perlakuan hukum tax amnesty tidaklah merepresentasikan gambaran sebagai leviathan.
Itulah esensi dari kebutuhan akan keberlakuan tax amnesty jilid kedua. Artinya, saat berpikir efek psikologis dengan ungkapan ‘lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty‘ adalah tidak tepat. Negara hukum Indonesia memerlukan langkah berpikir hukum dengan keseimbangan hukum yang benar.
Kebutuhan pajak bagi kemaslahatan tetap menjadi fokus utama menjalankan undang-undang pajak, tanpa menegasikan tindakan tegas bagi yang punya niat jahat (mental elements of crime atau guilty mind atau mens rea) mengelak pajak.
Hal itu sejalan dengan doktrin ultimum remedium dalam konteks pidana pajak dalam penjelasan Pasal 13A UUKUP tetap diberlakukan bagi mereka yang memiliki guilty mind. Itu sebabnya, proses dan mekanisme penegakan hukum mesti dipahami benar oleh para penegak hukum.
Jika tidak, tujuan menghimpun pajak akan gagal, yang tidak kita inginkan bersama. Justru kita harus bersatupadu membangun bangsa dan negara ini. Instrumen pajak merupakan instrumen yang amat strategis untuk mewujudkan cita-cita Indonesia maju ke depan.
Uraian di atas menyimpulkan bahwa kebutuhan tax amnesty jilid kedua menjadi bagian dari politik hukum mencari nilai-nilai dalam hukum yang dibutuhkan. Rumusan kebijakan norma hukum tax amnesty tetap ditujukan pada tujuan kepastian dan kemanfaatan yang berkeadilan.
Untuk itu diperlukan persiapan yang matang, mulai dari perumusan norma pada Undang-undang sampai dengan peraturan turunan dan implementasi di lapangan yang efisien, efektif, serta memberikan kemudahan administratif bagi wajib pajak. Koordinasi dan sinkronisasi merupakan kata kunci pada tataran implementasi di lapangan yang harus mendapatkan perhatian serius nantinya.
Penulis: Bapak Wirawan B Ilyas dan Bapak Richard
Tentu, berikut adalah transkrip lengkap dari teks yang ada di screenshot ketiga, sesuai dengan kata per katanya:
Setidaknya ada dua alasan relevansi membahas persoalan ultimum remedium di era pandemi Covid-19. Pertama, ketidakpastian akan berakhirnya Covid, dan kedua, kebutuhan pajak untuk Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) hingga Rp 924,8 triliun
Kebutuhan dana PCPEN di atas telah mencapai 75% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 hingga membuat ‘kerisauan’ sekaligus tantangan mencari solusi terbaik pulihnya kondisi masyarakat dari Covid-19.
Kalau begitu, pemaknaan yang tepat atas asas ultimum remedium pajak jadi bagian penting penguatan PEN saat ini di tengah pandemi Covid 19. Ramainya pemberitaan konsep perubahan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP), tampaknya belum menyentuh ruang diskusi dengan serius terkait penerapan asas ultimumremedium dalam penegakan hukum pajak.
Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah memberi sinyal kuat untuk tidak memidana pengemplang pajak tetapi fokus menyelesaikan kewajiban pembayaran.
“UUKUP memang berciri ultimum remedium, di mana penyelesaian administrasi dengan pembayaran untuk mendapatkan penerimaan negara diprioritaskan daripada hukuman pidana,” begitu dikatakannya.
Bicara pajak adalah bicara kewajiban yang mesti dijalankan sesuai UU atas dasar sistem selfassessment sesuai norma Pasal 12UU KUP. Bicara pajak adalah juga bicara jumlah yang mesti dibayar. Jika jumlah yang dibayar dinilai tidak benar, pembetulan adalah lembaga resmi sebagai esensi yang dikehendaki UU. Pidana bukan cara yang dituju.
Para ahli hukum pajak pun telah sepakat, pajak tidak bertujuan memidana tetapi menghimpun uang pajak bagi keperluan negara, termasuk keperluan PEN. Konsep itu sejalan dengan yang dikatakan Menkeu di atas. Bahkan ‘ciri ultimum remedium‘ yang dikatakan Menkeu tidak pernah jelas dalam rumusan norma yang diatur dalam UUKUP. Ciri ultimum remedium hanya disebutkan dalam penjelasan Pasal 13A, itupun hanya terkait dengan norma Pasal 38 hal pidana pajak bersifat alpa (culpa), bukan sengaja (dolus). Jadi, normanya tidak jelas.
Ketidakjelasan rumusan norma itulah yang membuat ketidakpastian hukum. Bahkan, ketika wajib pajak (WP) dengan kemauan sendiri hendak membetulkan atau mengungkapkan ketidakbenaran atas Surat Pemberitahuan (SPT) yang salah sesuai Pasal 8 ayat (3) KUP, kerap terkendala karena tidak dapat dilakukan. Ruang diskresi fiskus ke arah memidana masih sangat kuat hingga timbul kesan ‘rezim pidana pajak’ tidak pernah berubah.
Tentu, berikut adalah transkrip lengkap dari teks yang ada di screenshot keempat, sesuai dengan kata per katanya:
Padahal Prof Wiryono Prodjodikoro (Ketua MA 1952-1966) sudah menyatakan konsep pidana hanya dapat dijalankan apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan. Jika dua bidang hukum itu (administrasi dan perdata) tidak cukup, baru di adakan sanksi pidana sebagai senajata pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.
Pidana, termasuk pidana pajak selalu memberikan derita (nes tapa) dan tragis (menyedihkan), karenanya sangat jarangdi gunakan. Pidana pun disebut sebagai hukum pembantu (hulprecht) bagi hukum administrasi maupun perdata. Artinya, turut membantu namun tetap sebagai sarana terakhir. Itu yang mesti dipahami dalam hukum pajak oleh pihak fiskus berdasarkan pengalaman empiris penulis di lapangan.
Persoalan hukumnya, rumusan norma ultimum remedium sejak UUKUP tahun 1983 sampai saat ini tidak pernah jelas karena sulitnya mengukur makna ultimum remedium. Itu sebabnya, saatnya rumusan norma terkait ultimum remedium mesti disempurnakan dalam RUU KUP yang sedang dibahas di DPR.
Dalam pandangan penulis, jika pidana pajak hendak diterapkan, rumusan normanya dapat dirumuskan dengan mencantumkan tiga unsur.
Pertama, perilaku pidana yang dilakukan wajib pajak sudah berulang (residivis). Kedua, kerugian Negara tidak dapat dipulihkan. Ketiga, wajib pajak sendiri menghendaki pidana penjara (pengakuan ada guilty mind/mensrea).
Oleh karena berpikir pidana mesti terukur dan rigid berasaskan lex certa, suatu ketentuan harus jelas dan rinci mempunyai kepastian hukum. Rumusan pelanggaran yang dikualifikasikan pidana pajak dalam UUKUP saat ini masih bersifat samar, terlaluluas dan multipurpose.
Keadaan ini sangat berbahaya dalam tataran implementasi di lapangan. Misalnya, pengisian SPT yang tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangannya tidak benar, menurut Pasal 38 dan Pasal 39 diklasifikasikanpidana pajak. Di sisi lain juga dapatdikategorikan pelanggaran administrasi berdasarkan Pasal 13 KUP.
Mengapa demikian? Rumusan norma itu membuktikan penyusun UUKUP tidak pernah membuat benang merah yang dapat tegas membedakan antara pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administrasi dan yang dijatuhi pidana. Artinya, asas lex certa belum tercermin dalam rumusan perbuatan yang dikualifikasikan pidana pajak dalam UUKUP.
Beratnya pemerintah melakukan PEN dengan biaya amat besar, tentu saja perlu dukungan pajak dari ragam kebijakan pajak. Kegagalan pajak jelas berpengaruh pada PEN.
Kalau begitu, kebijakan (politik hukum) sanksi pajak mestinya tidak pada makna pidana berasaskan ultimum remedium tetapi pada administrasi berasaskan primum remedium. Hal itu terlihat dengan dicabutnya norma Pasal 13 ayat (5) serta Pasal 15 ayat (4) UUKUP dalam UU Cipta Kerja No 11/2020 berkaitan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar terhadap wajib pajak yang sudah dipidana setelah 5 tahun, yang merupakan politik hukum (kebijakan negara) yang tepat.
Kalau begitu, ketidakjelasan rumusan norma mesti disempurnakan supaya memberi kepastian dan keadilan dalam hukum. Karena disadari sanksi pajak sejak awal adalah sanksi administrasi, sehingga dikatakan ‘yang utama dalam pajak adalah menghimpun uang pajak untuk negara’ sesuai dengan konsep pajak sebagai fungsi budgeter. Penerimaan pajak dijalankan berasaskan primum remedium.
Kita semua tentu berharap target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 tercapai supaya program PC-PEN berjalan dan pandemi Covid-19 dapat dihalaukan dengan baik. Biarlah kegagalan pajak hanya mimpi semata, bukan kenyataan. Optimisme meraih pajak di masa pandemi perlu kebijakan tepat dan dengan langkah bijak yang dapat dijalankan otoritas pajak. Optimisme dengan langkah terukur sesuai mekanisme hukum, menjadi harapan bersama meraih realitas kehidupan lebih baik. Memutuskan rantai pendemi Covid-19 kiranya dapat terwujud melalui pajak demi Indonesia yang lebih baik.
Perlu kita sadari bersama bahwa pajak merupakan kewajiban kita bersama. Dengan pajak, kemandirian bangsa dan negara akan terwujud nyata dengan kepastian hukum yang jelas.
Penulis: Bapak Wirawan B. Ilyas dan Bapak Richard Burton
Tidak dapat dimungkiri bahwa ruang keadilan dalam ragam kebutuhan menjadi mimpi dan milik kita semua yang harus diwujudkan, termasuk keadilan dalam pemenuhan kewajiban pajak sesuai Undang-undang. Keterlibatan pengacara pajak menjadi satu kemestian pula guna suksesnya penerimaan pajak, seperti halnya pengacara bidang pasar modal, pertanahan, perburuhan, paten, serta bidang hukum lainnya, terlebih lagi pasca terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Mengapa? Karena dengan lahirnya UUHPP otomatis Undang-undang yang terkait dengan pajak semakin beragam, yaitu UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Cipta Kerja (kluster perpajakan), dan UU HPP sendiri.
Kebutuhan pengacara pajak dalam ragam persoalan (hukum) pajak memberi sinyal positif sekaligus mitra bagi wajib pajak (WP) yang kurang memahami seluk beluk bidang hukum pajak yang beragam dan cenderung terdapat perbedaan persepsi dan ketidakseimbangan hukum antara WP dan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik saat pemeriksaan maupun saat keberatan.
Keberadaan pengacara pajak memberi keyakinan akan semakin banyak WP menjadi patuh dalam melaksanakan kewajiban pajaknya dan sekaligus memberi kepastian pemenuhan hak-hak WP.
Konotasi pengacara pajak tidak melulu mesti dipahami berseberangan dengan pemerintah, dalam hal ini otoritas pajak, sekalipun jasa hukum yang diberikan ditujukan untuk kepentingan klien.
Makna kepentingan klien sepanjang sesuai dengan norma UU, tidak ada yang salah dengan makna itu. Posisi hukum kepentingan WP (klien) sama dengan kepentingan masyarakat sertakepentingan negara.
Sengketa
Pemenuhan kewajiban pajak atas dasar UU pajak tidak akan pernah lepas dari persoalan sengketa, sepanjang norma dalam UU pajak dapat ditafsirkan dalam ragam penafsiran khususnya jenis pajak yang menganut self asessment dan withholding system. Namun, keadilan pajak tetap menjadi harapan semua pihak (negara dan masyarakat) untuk penyelesaiannya.
Dalam kerangka memberi bantuan hukum sesuai UU Bantuan Hukum No 16/2011, mestinya menjadi tugas semua pihak yang paham hukum dalam bingkai negara hukum. Bahwa Negara menjamin hak konstitusional setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
Pengacara pajak menjadi mitra otoritas pajak (Ditjen Pajak/DJP) guna pemberi arahan hukum bagi WP terhadap kasus pajak yang rumit. Terbitnya Putusan Mahkamah Agung No 3137/B/ PK/Pj/2020 terkait pengenaan PPN yang dikenakan Perusahaan Gas Negara (PGN) pada tahun 2021 yang sempat ramai di ranah publik adalah contoh menarik sebagai pembelajaran hukum bagi semua pihak untuk mudah memahami sengketa pajak.
Menilai sengketa pajak bukan saja mesti memahami persoalan UU Pajak semata. Persoalan pajak erat kaitan dengan UU lain. Menilai pajak (baca: hukum pajak) sebagai bagian dari hukum administrasi, dalam praktiknya tidak mudah dipahami karena berkaitan erat dengan bidang hukum keperdataan, pidana, bahkan hukum bisnis yang sangat dinamis dan spektrum yang luas.
Bahkan hukum pajak kerap di dekatkan dengan persoalan sosiologis serta persoalan ketatanegaraan, termasuk persoalan HAM (Hak Asasi Manusia), serta persoalan hukum internasional dalam era globalisasi, yang keseluruhan persoalan pajak disimpulkan menjadi persoalan sosiologis, yuridis serta filosofis.
Memaknai pajak bukan memaknai pemenuhan pajak yang mesti dibayar tanpa imbalan (kontra prestasi) langsung dirasakan WP. Pemaknaan konstitusional diibaratkan sebagai seseorang yang hidup dalam satu kumpulan warga yang butuh biaya untuk segala macam kebutuhan, termasuk jika ada sengketa di antara warga.
Pada sisi hukum, ketika missal Tuan Ali menghadapi persoalan pajak yang harus dipenuhi sebagai kewajiban kepada negara, kehadiran pengacara pajak patut didukung guna membantu menyelesaikan sengketa hukum sesuai perundang-undangan.
Harus diakui, masih banyak WP kurang paham liku-liku pajak, termasuk cepatnya perubahan UU Pajak, seperti terbitnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No 7/2021. UU HPP berlaku sejak 29 Oktober 2021 yang berasaskan antara lain keadilan, efisiensi dan kepastian hukum, dengan tujuan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum (pasal 1 ayat 1 dan ayat 2).
Dengan semakin banyak pihak yang peduli pajak, diyakini citra pajak memberi harapan lebih baik bagi negara. Pengacara pajak menjadi harapan membawa kebaikan pada kemanfaatan, kepastian dan keadilan yang diinginkan semua pihak dalam negara hukum sesuai dengan asas dan tujuan UU HPP.
Mimpi itu patut terus digagas untuk diwujudkan sebagai tugas mulia dari pengacara pajak. Mimpi itu juga sejalan dengan pandangan Von Jhering, Filsuf Jerman (1818-1892) yang menekankan teorinya pada ide manfaat yang diusahakan lewat hukum yang adil. Hukum dapat menjadi alat penyatu dalam ragam kepentingan pada tujuan kemanfaatan yang dibutuhkan dalam wujud nyata berupa UU. Karenanya, UU mesti menjadi sarana pembaharuan masyarakat untuk ketertiban (order) dan kepastian (certainty).
Hukum pajak sebagai hukum yang hidup dan terus berkembang di masyarakat (living law), mau tidak mau butuh profesi pengacara pajak untuk turut berkontribusi bagi negara. Ketika itu terwujud, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) boleh jadi akan terbentuk dalam diri WP sesuai yang diharapkan.
Lagi-lagi, keberadaan pengacara pajak memberi alasan kuat sebagai cara memberi kenyataan sosial bahwa manusia sadar akan kebutuhan hukumnya (opinion necessitates) guna mewujudkan kepastian dan keadilan dalam pemenuhan kewajiban pajak. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 63/ PUU-XV/2017 yang merupakan putusan yang terang benderang memberi penegasan peran advokat sebagai kuasa hukum wajib pajak (WP).
Membaca teks pajak jelas tidak mudah karena membaca teks pajak adalah membaca teks yang lentur alias tidak kaku. Pemaknaan teks pajak yang lentur dapat dibaca dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 59/PUUXVI/2016 berkaitan dengan pengujian (review) norma Barang Kena Pajak. Artinya, norma UU mengatur barang kebutuhan pokok yang terbaca kaku terkait PPN, menjadi lentur saat muncul Putusan MK untuk mengisi kekakuan teks pajak yang ada.
Kemampuan membaca teks itulah yang dikritisi Derrida yang mengusung tema dekonstruksi (1930-2004) bahwa dalam setiap teks terdapat makna tersembunyi di belakangnya. Dekonstruksi teks merupakan arena pergulatan terbuka yang terus dilakukan Derrida.
Di sinilah pengacara pajak dituntut mampu melakukan pergulatan terbuka seperti diajarkan Derrida. Oleh karena bicara pajak adalah bicara teks dalam pergulatan terbuka. Teks (norma) pajak adalah teks yang bicara soal keadilan. Maka, teks pajak dalam UU Cipta Kerja No 11/2020 maupun UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No 7/2021 adalah teks lentur yang terus bergulir mencari titik keadilan yang dituju.
Teks pajak terus bergerak mengikuti keadaan masyarakat sebagai hukum yang hidup (living law). Teks pajak menjadi tugas pengacara pajak untuk ‘membumikan’ teks menjadi mudah dipahami. Karena teks pajak tidak luput dari soal keadilan sosial, yang dijelaskan Magnis-Suseno (2018) sebagai keadilan yang tergantung struktur ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat.
Pada posisi melihat persoalan di atas, pengacara pajak wajib me miliki visi sama dengan otoritas pajak dan seluruh masyarakat dalam mewujudkan keadilan pajak dengan memahami teks pajak sebagaimana diajarkan Derrida. Memang tidak mudah tetapi harus dimulai sejak saat ini pasca-UU HPP.
Dari uraian di atas disimpulkan dua hal, pertama, ruang keadilan pajak menjadi mimpi bersama yang patut diwujudkan segera agar terdapat keseimbangan hukum antara wajib pajak (WP) dan Ditjen Pajak dalam implementasi di lapangan. Bantuan hukum (pajak) kepada masyarakat WP merupakan salah satu wujud penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945.
Kedua, pengacara pajak sebagai bagian dari sistem penegakan hukum merupakan profesi mulia (officium nobile) menjadi bagian dalam mewujudkan kepastian dan keadilan untuk kepentingan negara bagi kesejahteraan bersama di negara hukum Indonesia.
Penulis: Bapak Wirawan B. Ilyas dan Bapak Richard Burton
Sejarah pungutan pajak mencatat ungkapan Raja Salomo atau Sulaiman berkaitan dengan visi keadilan dan tegak-tidaknya suatu negeri (negara).
Dikatakan Salomo, “dengan keadilan seorang raja menegakan negeri, tetapi orang yang memungut banyak pajak meruntuhkannya” (Amsal 29:4).
Ungkapan di atas memberi makna bahwa pungutan pajak hakikinya bukan ditujukan dalam jumlah semata, tetapi pada sisi keadilan.
Target penerimaan pajak 2019 sebesar Rp1.786,4 triliun (82% dari pendapatan negara) mesti dimaknai supaya dilakukan secara adil.
Pemaknaan keadilan jauh lebih mudah dipahami jika posisi pemungut pajak (pemerintah) digunakan kata ‘pelayan’ atau ‘hamba’ bagi rakyat yang dilayani. Jika pemungut pajak melakukan pungutan dengan menjadi ‘pelayan atau ‘hamba’ maka wajib pajak dengan sendirinya akan menjadi ‘hamba’ sepanjang waktu (selama menjadi wajib pajak).
Itulah nasihat yang diberikan para sesepuh kepada Raja Rehabeam, anak dari Salomo yang menggantikannya. Nasihat keadilan pungutan pajak ditujukan karena rakyat pada saat itu menanggung pukulan/tanggungan pajak sangat berat.
Rakyat meminta keringanan beban pajak yang dirasakan berat. Kisah di atas menjadi cermin betapa tidak mudah melakukan pungutan pajak dengan adil. Makna tersebut juga tercermin ketika membaca polemik pungutan pajak e-commerce yang sudah ditetapkan Menteri Keuangan melalui PMK No.210/PMK.10/ 2018 (berlaku 1 April 2019). Ketidakjelasan dan kesimpangsiuran informasi serta kekeliruan pemahaman seolah aturan tersebut melahirkan jenis pajak baru, menjadi dasar bagi menteri keuangan menarik kembali aturan tersebut (Bisnis Indonesia 1/4).
Menurut penulis, pencabutan aturan menjadi langkah kebajikan dalam rangka memberikan kebaikan bagi semua. Sekalipun PMK 210/2018 semata-mata menjadi aturan pengenaan dalam memberi kemudahan kepada pebisnis e-commerce dalam peningkatan kepatuhan pajak, boleh jadi tidak sepenuhnya dipahami seperti itu. Di sinilah perlunya kebajikan melangkah yang patut dilakukan pemerintah.
Beralaskan Sistem
Perbincangan kepatuhan pajak menjadi ramai saat terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2018 (mengubah PP 46/2013) yang menetapkan tarif PPh sebesar 0,5% bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM)/Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omzet penghasilan Rp4,8 miliar per tahun.
Mengapa ramai? Karena masih banyak pelaku usaha belum patuh. Kepatuhan beralaskan sistem sejatinya memberi pemahaman mudah. Sistem self-assessment mestinya sudah menjadi alas hak bagi pelaku bisnis menjadi patuh. Bahkan kepatuhan mestinya menjadi lebih tinggi ketika teknologi canggih dimanfaatkan sebagai mekanisme pengawasan terhadap pelaku bisnis.
Era digital menjadi masa ketika aspek peningkatan kepatuhan menjadi mudah dan beralaskan sistem. Era digital menjadi pemicu dikenakannya sanksi dan denda pajak (fine and penalties) bagi wajib pajak yang sengaja untuk tidak patuh. Misalnya penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) melalui gawai memberi cara peningkatan kepatuhan di era digital saat ini.
Namun tidak dapat dipungkiri, kepatuhan beralaskan sistem juga mesti dibarengi empat hal pokok, yaitu kesadaran hukum, kejujuran, hasrat bayar pajak, dan disiplin diri wajib pajak (Rochmat Soemitro, 1998). Mengambil posisi pada keempat hal di atas menjadi kebajikan menjadi lebih seimbang mungkin. Pentingnya melakukan kebajikan dalam pungutan pajak tidak semata berpikir pada tataran aturan hukum (undang-undang) yang seakan sudah bersifat filosofis dan yuridis.
Kesadaran hukum masyarakat (wajib pajak) dalam menaati dan membayar pajak hukum sangat penting supaya aturan menjadi efektif. Kesadaran hukum tersebut menyangkut faktor apakah aturan hukum (hukum pajak) diketahui, dipahami, diakui, dihargai dan ditaati wajib pajak sebagai pengguna hukum. Hal ini karena pungutan pajak tidak berfungsi jika tidak ada kesadaran hukum. Menilik pesatnya berkembang e-commerce yang tidak dapat dihentikan maka dengan sendirinya berpengaruh pada kesadaran hukum di bidang pajak. Misalnya dalam mendiskusikan kesadaran hukum terhadap PMK 210/2018, dari sisi kebajikan pemikiran hukum bisa dianalisis.
Sisi pertama yaitu dengan semata menilik pada aturan kejelasan dengan mendasari keadilan substantif dari makna aturan undang-undang serta peraturan pemerintah yang mengaturnya. Adapun sisi kedu amelalui PMK 210/2018 memberi ketepatan tersendiri dengan ragam pelaporan yang dilakukan pelaku e-commerce. Keharusan tersebut patut dipikir ulang dengan bijak.
Bahkan jika sisi ketiga terkait dengan sanksi pidana hendak diulas, mungkin akan memberi efek sangat negatif bagi perkembangan e-commerce. Padahal kita semua menginginkan perkembangan bisnis terus melaju kencang, seakan bersaing dengan industri unggulan kaum milenial. Tertib administrasi memberi ujung kepastian hukum terkait dengan peningkatan kepatuhan, tetapi tidak harus secara kaku. Keluwesan administratif pelaporan dan ragam formulir yang disusun semestinya dibuat sesederhana mungkin.
Kalangan pebisnis e-commerce butuh kecepatan dan kesederhanaan. Menyadari hal demikian, kebijakan dan kebajikan dalam melakukan pungutan pajak menjadi dua hal yang seharusnya terus dikaji. Dengan cara itu, melakukan pungutan pajak demi tegaknya negeri menjadi harapan dan cita-cita bersama menuju Indonesia yang lebih baik.
Mekanisme hukum peninjauan kembali (PK) pajak terus menuai debat panjang sekalipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Perma No. 7 tahun 2018 yang mengatur tata cara permohonan PK atas putusan Pengadilan Pajak.
Esensi aturan itu yakni PK hanya dibolehkan satu kali, seakan mengusik rasa keadilan para pencari keadilan. Norma Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak No 14/2002 menjadi awal persoalan hukum pengajuan PK pajak ke MA.
Kerancuan memaknai norma boleh jadi dipengaruhi adanya Surat Edaran MA (SEMA) No. 7/2014 mengenai pengajuan PK dalam perkara pidana. SEMA ini terbit akibat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan ketidakberlakuan norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP berkaitan dengan persoalan pidana, yang berarti pengajuan PK dapat lebih dari satu kali.
Logika hukum terbitnya SEMA dapat dibenarkan karena adanya norma Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman No. 48/2009 yang menyatakan ‘terhadap putusan pengadilan kembali dapat dilakukan peninjauan kembali’.
Persoalannya, apakah logika hukum PK pada kasus pajak (PK) sama dengan PK pada kasus pidana? Pasal 77 ayat (3) UU 14/2002 menegaskan ‘pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung’. Dua hal dapat dikaji dari norma ini. Pertama, makna ‘peninjauan kembali’. Kedua, makna ‘pihak-pihak yang bersengketa’.
Dalam kasus pidana, PK diajukan karena adanya putusan kasasi yang telah diputus MA. Logika hukum pengajuan PK esensinya ditujukan guna menguji sekali lagi (pengujian ulang) atas putusan kasasi yang sudah diputus MA sendiri.
Pengajuan PK pajak tentu berbeda dengan PK pidana, karena peradilan pajak bersifat administratif lainnya. Logika hukum PK pajak hakikatnya menguji ulang penerapan hukum atas putusan Pengadilan Pajak, bukan menguji ulang putusan yang diputus MA.
Makna hukum PK pajak memberi ruang kepastian kepada pihak-pihak yang bersengketa meminta pengujian ulang atas putusan MA, bukan pengujian putusan Pengadilan Pajak. PK dalam Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak No.14/2002 hanya khususnya dengan denda yang dimaksud UU Kekuasaan Kehakiman No. 48/2009.
PK pajak yang diajukan ke MA bukan merupakan PK yang kedua tetapi PK yang ditujukan untuk pengujian atas putusan Pengadilan Pajak untuk diputus oleh MA sebagai lembaga peradilan akhir (tertinggi) sesuai sistem peradilan yang ada. Makna hukum PK pajak dimaksud sama dengan lembaga kasasi pada kasus pidana atau perdata.
Makna hukum PK pajak dan kasasi pidana atau perdata sama-sama ditangani MA sebagai lembaga pemutus akhir dari sengketa. Ketika mekanisme hukum PK sudah diputus MA, hukum membuka ruang kesempatan hanya sekali melakukan pengujian terhadap putusan yang sudah diputus MA. Di sinilah makna hakiki mencari keadilan yang berkesetanan melakukan pengujian atas putusan yang sudah diputus MA.
Itu sebabnya, pengujian PK pajak atas dasar Pasal 77 ayat 3 UU 14/2002 hendak meminta pengujian ulang atas putusan Pengadilan Pajak, bukan pengujian atas putusan MA. Alhasil, warga hak atas putusan PK pajak yang sudah diputus MA diajukan pengujian ulang melalui PK juga tetapi tidak bisa dimaknai sebagai PK kedua. Pengujian ulang melalui lembaga PK atas putusan MA tidak berarti terjadi ada PK yang kedua kali.
Maka PK pertama berbeda dengan PK kedua. PK pertama menyebut putusan Pengadilan Pajak, sedangkan “PK kedua” menguji putusan PK yang sudah diputus MA. Di sinilah makna hukum PK pajak yang kerap rancu yang mestinya dipahami dengan benar. Dengan memahami makna PK pajak yang diatur dalam UU 14/2002 akan mudah kita pahami frasa ‘pihak-pihak yang bersengketa’ yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) UU 14/2002 yang normanya tegas menyatakan ‘pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan PK atas putusan Pengadilan Pajak kepada MA’.
Membaca frasa ‘pihak-pihak yang bersengketa’ secara umum bermakna pihak wajib pajak (WP) dan pihak otoritas pajak atau Ditjen Pajak (DJP) karena dua pihak inilah yang dapat mengajukan PK. Artinya, keduanya dapat mengajukan PK atas putusan Pengadilan Pajak.
Namun, dapat juga dipahami ketika kedua pihak (WP dan DJP) bermakna satu sepanjang kedua pihak sudah mengajukan PK. Alhasil, pihak-pihak yang dimaknai dua pihak menjadi bermakna satu pihak sepanjang para pihak atau pihak-pihak dimaksud (WP dan DJP) sudah mengajukan upaya hukum PK ke MA.
Lagi-lagi muncul kerancuan memaknai frasa ‘pihak-pihak yang bersengketa’. Jika kita kembali pada persoalan makna hukum PK, maka ‘pihak-pihak yang bersengketa’ mesti dipahami pada makna hukum pengujian ulang putusan hukum yang sudah diputus MA.
Jika awalnya WP atau DJP mengajukan PK, itu berarti meminta pengujian putusan Pengadilan Pajak, bukan putusan MA. Setelah ada putusan MA, ‘para pihak yang bersengketa’ yang dikalahkan oleh putusan MA adalah para pihak yang meminta pengujian atas putusan MA.
Jadi, pengajuan PK lebih dari satu kali tidak tepat karena tujuan pengujian PK-nya berbeda. Kalau begitu, Perma 7/2018 yang ditindaklanjuti dengan rumusan hasil rapat pleno kamar MA sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan yang tertuang dalam SEMA No. 2/2019, patut dikaji ulang.
Akhir-akhir ini muncul berita penegakan hukum melalui penyanderaan (gijzeling) Wajib Pajak (WP) maupun putusan pidana karena WP tidak patuh pajak. Tindakan hukum tersebut dimungkinkan karena memang diatur dalam UU Penagihan Pajak No. 19/2000 dan UUKUP No. 6/1983 yang diubah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7/2021.
Persoalan hukumnya muncul karena tindakan pemeriksaan bukti permulaan (Bukper) yang diatur PMK-177/PMK.03/2022, praktik di lapangan sering tidak memiliki kesamaan langkah. Tampaknya itu menjadi perhatian Dr. Richard Burton, pengamat dan praktisi pajak yang tersesat mengenai penegakan hukum yang dilakukan otoritas pajak (DJP), saat bincang santai usai beliau memberikan webinar. Beliau menilai norma Pasal 43A UUKUP masih menyisakan problem hukum karena rumusan normanya tidak jelas.
UU menyatakan kalau ada informasi, data, laporan dan pengaduan (disebut IDLP) maka DJP bisa langsung lakukan Bukper tanpa perlu pemeriksaan terlebih dahulu, tetapi penilaian kedua menyatakan tidak bisa. Disitulah kesulitannya kenapa bisa berbeda cara pandangnya. Padahal kalau baca penjelasannya tertulis ‘hasil analisis atau pengamatan IDLP ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, pemeriksaan bukper atau tidak ditindaklanjuti’.
Penjelasan itu bisa ditafsirkan dua cara. Pertama, karena ada kata ‘atau’ maka jadi pilihan memilih melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukper. Kedua, bisa langsung bukper. Lalu Dr. Richard menjelaskan bahwa harusnya ketika dilihat yang pertama, maka itu yang harus dilakukan terlebih dahulu. Kalau DJP langsung lakukan Bukper atas setiap IDLP, logika hukumnya untuk apa ada dua tahapan pemeriksaan.
Karenanya, sangat berbahaya jika setiap IDLP langsung dibukper. Kenapa? kalau bukper dilakukan ternyata tidak ada terbukti ada pidana tetapi ada potensi pajak, pasti diduga pajaknya dengan diperiksa. Itu kan jadi sedikit aneh. Kalau terlalu buru-buru langsung dilakukan Bukper, menurut Dr. Richard ada lompatan berpikir hukum yang terjadi pajak. Sinisme publik bisa muncul kenapa banyak orang tidak punya NPWP tidak diperiksa? Bagaimana harus dijawab itu?
Kalau begitu, rumusan norma Pasal 43A harus jelas karena hukum menghendaki kejelasan (lex certa), juga harus tegas (lex stricta). Apalagi pajak itu sifat memaksa, jadi harus jelas dan tegas. Tidak boleh terlalu banyak penafsiran. Jadi benar kalau pajak selalu prioritaskan denda, bukan penjara. Karena pajak sebenarnya tidak butuh pidana, pajak butuh duit pajak.
Apalagi penjara sudah sangat sesak, butuh biaya banyak juga. Kalau tujuannya efek jera, itupun harus ada kajian jelas. Akhirnya beliau menghimbau law enforcement pajak tidak membuat gaduh dan resah pelaku bisnis.
Pengantar
Ketika diskusi pembayaran pajak merupakan diskusi kewajiban yang diatur undang-undang, mau tidak mau pola pikir publik digiring pada cara berfikir dipaksa. Karena memang pajak sejak dulu didefinisikan sebagai kewajiban bersifat memaksa.
Sejak reformasi perundang-undangan perpajakan tahun 1983, pola pikir dipaksa memang tertulis jelas dalam norma undang-undang termasuk perubahannya. Publik belum digiring pada pola pikir bahwa pembayaran pajak merupakan hukum dalam arti etis umum.
Padahal sistem self assessment yang menjadi kesepakatan dalam undang-undang pajak hakikinya merupakan etis umum, yang dimaknai dalam budaya bangsa kita sebagai gotong royong. Frasa ‘gotong royong’ sebetulnya sudah tertuang dalam undang-undang, hanya saja publik kurang memahaminya.
Hukum (pembayaran) pajak pada hakikinya bukan dimaknai untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Tetapi wujud kepentingan umum yang hidup dalam sistem politik negara, seperti dikatakan Rousseau (Filsuf Swiss, 1712–1778) bahwa hukum adalah etis umum sebagai wujud volonte generale.
Sebagai manifestasi volonte generale, (pembayaran) pajak merupakan hukum yang memiliki makna sebagai tatanan yang dapat melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi. Praktek penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) semestinya dimaknai untuk melindungi kepentingan umum dan pribadi.
Volonte Generale
Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT PPh OP) yang dilakukan sekali setahun, memiliki makna volonte generale atau makna gotong royong dalam budaya bangsa kita. Publik mesti diingatkan terus akan budaya gotong royong yang sudah digugah Sukarno sejak tahun 1945 lalu.
Hukum (pajak) sebagai wujud volonte generale, mengimplikasikan bahwa hak dan kewajiban tiap orang tetap dihormati, sehingga tetap merasa bebas dan merdeka seperti sedia kala. Pajak yang dibayarkan bukan semata-mata menjadi kewajiban seseorang pada negara, tetapi menjadi prinsip keseimbangan yang bersangkutan.
Pembayaran pajak menjadi cara hidup dalam tatanan hukum yang lebih damai. Bahkan akan dirasa jauh lebih baik ketimbang menyembunyikan harta (penghasilan) yang dimiliki tanpa mau peduli pada kepentingan umum.
Praktek tidak bayar pajak hanya mempraktekan tatanan hukum yang ditujukan untuk kemauan dan kepentingan pribadi orang per orang (volonte particuliere). Praktek demikian pada akhirnya hanya akan menghancurkan sistem politik bernegara dan menghancurkan hak dan kepentingan pribadi-pribadi itu sendiri.
Kalau begitu, hidup dalam tertib hukum membayar pajak (atas harta/penghasilan) niscaya membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan, yakni kebebasan yang dimiliki tiap orang masih tetap ada. Hanya saja kebebasan memiliki harta/penghasilan dibatasi oleh kemauan umum (volonte generale).
Oleh karenanya bisa dimengerti jika terminologi pajak yang memiliki unsur pengaturan umum sejalan dengan pemahaman etis umum yang dimaksud Rousseau. Dalam konteks itu, penulis dapat simpulkan jika pembayaran pajak merupakan wujud kehidupan sosial yang adil dan bermoral.
Lalu, bagaimana jika kewajiban itu tidak dijalankan oleh sebagian orang? Jawaban pastinya, hukum yang memberi jalan keluar dengan sanksi supaya rumusan kehidupan berkeadilan tidak kalah dalam kelanjutan dan kesejahteraan. Sanksi itu sifatnya supaya orang menjadi patuh (Michael Doran, 2009: 3).
Penekanan sanksi dalam norma undang-undang hakikinya menjadi tidak berarti jika budaya bayar pajak sudah menyatu dalam hidup berbangsa. Terlebih kultur bangsa kita yang berputar pada sumbu nilai-nilai kolektif dan komunal.
Nilai sosial seperti itu semestinya merupakan esensi dari cara kita semua membayar pajak buat negara. Satjipto Rahardjo pun sudah menekankan bahwa nilai sosial demikian pastinya akan menjadi bertolak belakang dengan hukum modern (UU Pajak) yang bertumpu pada sifat individualisme.
Kalaupun ada undang-undang, itu hanya alat melakukan perhitungan supaya memberi cara kemudahan administrasi belaka. Makna hakiki hukum pajak bukan dengan adanya undang-undang (termasuk UU tax amnesty) tetapi pada kehendak etis umum. UU pajak pun hadir hanya memenuhi kehendak etis umum semata.
Tujuan kebahagiaan adalah tujuan yang dituju setiap orang. Ketika kebahagiaan yang dituju, maka tidak akan mungkin dapat diperoleh jika pajak tidak dipahami dengan benar. Mengapa? Tesis sederhana menyatakan ‘tidaklah mungkin ada kehidupan yang bahagia tanpa pajak’.
Jika Jeremy Bentham menyatakan hukum harus mengusahakan kebahagiaan maksimum bagi tiap-tiap orang, penulis dapat menambahkan dengan memfokuskan hukum pajaklah yang mampu memberikan kebahagiaan dalam hidup tiap-tiap orang.
Karena tidak mungkin tiap-tiap orang mendapatkan hak dan kebahagiaan dalam hidupnya tanpa peduli pada kewajiban pajak yang mesti dilakukannya. Dengan memahami konteks kebahagiaan seperti itu, penyampaian SPT menjadi cara dan alat memberi kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Bagaimana itu dapat tercipta di negara kita? Mudah, hanya dengan menyadari esensi hukum dalam makna etis umum. Karena dominasi hak pribadi tetap diakui namun etis umum tetap diutamakan yang dengan sendirinya akan menopang hak pribadi tiap orang.
Memang, tiap-tiap orang kerap mengejar kebahagiaan hanya akan diraih dengan menciptakan kebebasan maksimum bagi individu untuk mengejar apa yang baik baginya. Dengan kebebasan dan keamanan yang cukup terjamin, tiap-tiap orang bisa maksimal meraih kebahagiaan.
Lalu pertanyaannya, dengan cara apa keamanan dapat tercipta jika tidak ada pajak? Bagaimana mungkin dapat memperoleh kebebasan jika ruang kebebasan tidak ada karena persoalan kriminal terus terjadi?
Dari uraian di atas, dua hal dapat disimpulkan. Pertama, penyampaian SPT PPh OP merupakan cara hukum mewujudkan kemauan dan kepentingan umum. Kedua, hukum pajak menjadi alat memberi kebahagiaan dalam tatanan sistem politik negara.